Jakarta memanas akibat ucapan wakil rakyat yang tak selaras! Senin pagi (25/8) terasa lebih berat di Jakarta. Udara dipenuhi ketegangan, apalagi di sekitar Gedung DPR karena menjadi pusat perhatian saat ribuan mahasiswa bergerak menuju Senayan untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Penyebabnya? Tunjangan rumah anggota DPR senilai 50 juta rupiah per bulan, jumlah yang terasa jomplang saat masih banyak rakyat yang sulit mencari kerja dan berjuang keras guna mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Semangat yang sebelumnya hanya menggelegar di media sosial, menjelma bagai bensin disiram ke api unggun. Hari ini berubah menjadi massa yang menyulut arak-arakan di jalanan dengan lemparan batu, botol, bahkan api dibakar di beberapa jalan. Rakyat merasa itu satu-satunya cara agar didengar.

Kehadiran aparat sebanyak lebih dari 1.200 personel, dengan gas air mata mengepul dan arus lalu lintas yang lumpuh, menambah dramatis skenario di hari ini.
“Uang negara bukan untuk foya-foya elit. Kami minta hak hidup layak, bukan sekadar hidup!” yel-yel sayup terdengar dari barisan orator aksi.
Di Argentina, Pensiunan + Suporter Bola Bersatu

Nah, menariknya, apa yang terjadi di Senayan hari ini bukan fenomena khas Indonesia saja. Flashback lima bulan ke belakang, Buenos Aires tempat pensiunan Argentina sudah lama merasakan pahitnya kebijakan pemerintah mereka.
Pemangkasan dana pensiun dan obat-obatan oleh Presiden Javier Milei membuat banyak lansia pada posisi “bertahan hidup”, bukan menikmati hari senja.
Beda dengan di Jakarta, aksi di Argentina kedatangan elemen tak terduga, yakni suporter sepak bola. Bayangkan, fans Boca Juniors dan River Plate yang biasanya berantem di tribun, malah bersatu berbaris di depan gedung Kongres membela kakek-nenek mereka.
Para suporter mengalirkan energi stadion ke medan protes, membuat aksi itu lebih dari sekedar gerakan lansia, menjadi gerakan nasional.
Namun bukan hal romantis jika tanpa risiko. Tembakan gas air mata, meriam air, dan bentrokan fisik menjadi sisipan pahit di tengah orasi kemanusiaan. Di antaranya, fotografer Pablo Grillo menderita koma usai terkena proyektil gas air mata, sebuah pengingat kelam bahwa hak menyuarakan pendapat harus ditukar dengan darah.
Gelombang demo berlanjut hingga musim pertengahan 2025 ketika RUU (Rancangan Undang-Undang) yang isinya untuk menaikkan jumlah uang pensiun bagi warga Argentina sudah disetujui parlemen, tapi Presiden Javier Milei mem-veto alias menolak dan membatalkan pengesahannya.

Akibatnya, ribuan orang kembali turun ke Plaza del Congreso. Bahkan Presiden Javier Milei menanggapi dengan keras aksi demo: “Kami akan penjarakan para biang kerok ini.”
Opini OlahBola: Ketika Suporter Jadi Wajah Perlawanan
Bayangkan kalau di Jakarta, demonstrasi ini ditebalkan lagi dengan barisan suporter sepak bola yang kompak turun ke Jalan Gatot Subroto bukan untuk tanding tapi untuk protes. Akses masuk DPR bisa lebih ramai daripada jalan menuju final Piala AFF.
Tapi perspektif ini jadi penting. Karena di Argentina, suporter bola menunjukkan mereka bisa jadi agent of change sosial, bukan hanya supporter klub. Mereka bicara lewat chant bahwa demi keadilan, di stadion atau tempat demo, suara tetap sama lantangnya.
Salah satu kutipan yang cukup viral waktu itu berasal dari seorang suporter Boca Juniors: “Kami bukan cuma soal bola, ini soal harga diri rakyat!”.

Kalau kita tarik benang merah, baik di Senayan maupun Buenos Aires, masalahnya sama: uang rakyat tidak dipakai sebagaimana mestinya, pantas rakyat marah. Fenomena ini menunjukkan bahwa sepak bola bukan cuma soal 90 menit di lapangan. Ada solidaritas, ada energi massa, dan ada kekuatan identitas yang bisa dipakai untuk hal-hal di luar stadion.
FAKTA TERBARU: Donald Trump Sentuh Trofi Piala Dunia FIFA, Kok Boleh?