Musim panas 2021, dunia sempat geger ketika Lionel Messi, salah satu ikon terbesar Barcelona terpaksa angkat kaki dari Camp Nou karena klub tak sanggup lagi menyesuaikan gajinya dengan aturan LaLiga.
Nah, cerita itu mengingatkan pada kasus serupa beberapa dekade sebelumnya. Bukan Messi, tapi Allan Simonsen, bintang Denmark pemenang Ballon d’Or yang kemudian membela Barcelona.
Dari Borussia ke Barcelona
Simonsen adalah striker mematikan era 70-an bersama Borussia Monchengladbach. Ia membantu klub Jerman itu meraih tiga gelar Bundesliga beruntun (1974–1977) dan bahkan mencetak gol di final Piala Eropa 1977 (kini namanya Liga Champions) melawan Liverpool. Sayangnya, Gladbach kalah 1-3.

Namun tahun itu tetap manis, karena Simonsen meraih Ballon d’Or 1977, mengalahkan nama-nama besar seperti Johan Cruyff, Kevin Keegan dan Michel Platini. Ia jadi orang Denmark pertama yang memenangkan penghargaan paling bergengsi untuk pesepakbola.
Barcelona pun kepincut dan merekrutnya pada 1979. Walau sempat mengangkat Copa del Rey, Simonsen kurang puas karena gagal memberi Blaugrana gelar LaLiga.

Situasi makin rumit ketika Diego Maradona datang pada 1982. Aturan kala itu hanya memperbolehkan dua pemain asing di lapangan. Saingan Simonsen? Maradona dan Bernd Schuster. Bisa dibayangin, kan?
@olahbolacom Siapa yang Hit dan Miss di MU versi kamu sob? manchesterunited
♬ suara asli – OlahBola.com – OlahBola.com
Pilihan Aneh: Tolak Madrid, Pilih Charlton!
Alih-alih bertahan atau pindah ke klub top lain seperti Real Madrid dan Tottenham, Simonsen justru bikin geger dunia sepak bola: ia memilih pindah ke Charlton Athletic, klub divisi dua Inggris.
Nominal transfernya 324 ribu poundsterling, jumlah yang cukup besar di masa itu. Petinggi Charlton saat itu, Mark Hulyer mendatangkan Simonsen sebagai aksi untuk lebih mengenalkan klub kepada publik dan membalikkan keuangan klub yang sedang sakit.

Alasannya Simonsen terima tawaran ini? Bukan uang, melainkan ketenangan hidup.
“Saya telah bermain di Denmark, di Jerman dan Spanyol, lalu sekarang saya ingin mencoba sesuatu yang benar-benar baru. Saya sangat stress selama di Barcelona, jadi saya perlu menenangkan diri dengan keluarga saya dan memiliki lebih banyak waktu dengan keluarga saya. Itu alasan saya pergi ke Charlton Athletic,” ujar Simonsen kepada Charlton Live pada 2013.
Bayangkan, pemain kelas Ballon d’Or yang baru saja bersaing dengan Maradona, malah memutuskan gabung klub dengan rata-rata penonton cuma 6.000 orang per laga. Bahkan, stadion Charlton berkapasitas 75 ribu tapi sering kosong. Kalau kata anak Jaksel sekarang: lowkey banget sih, bang.
BACA JUGA: 8 Transfer Gagal Mengejutkan: CR7 ke Arsenal, Salah ke Newcastle
Efek Simonsen: Dari Euforia ke Bangkrut
Awalnya kehadiran Simonsen membawa euforia. Penonton naik, laga melawan Middlesbrough dihadiri 10 ribu orang, dan ia sempat mencetak brace melawan Chelsea untuk menutup kemenangan 5-2.
Sayangnya, pendapatan tiket gak sebanding dengan beban finansial. Charlton cuma sanggup bayar setengah biaya ke Barcelona, sisanya macet. Ditambah gaji Simonsen yang tinggi, keuangan klub malah makin ambruk.
Dalam semusim, Simonsen bikin 9 gol dari 16 pertandingan. Catatan impresif, tapi klub justru makin terjerembab ke krisis. Bahkan Charlton sampai harus keluar dari stadion mereka sendiri, The Valley, dan numpang di kandang Crystal Palace serta West Ham.
Agen Simonsen juga menempatkan klausul pelepasan dalam kontrak pemain tersebut dan ketika Charlton tidak mampu lagi membayar gajinya, klausul itu diberlakukan. Akhirnya Simonsen kembali ke klub masa kecilnya, Vejle BK di Denmark. Transfer sensasional itu cuma bertahan satu musim.

Bagi Charlton, nama Simonsen memang bikin klub mereka lebih dikenal dunia. Tapi ironisnya, bukan karena prestasi, melainkan gara-gara satu pemain membuat bangkrut klub!
FAKTA TERBARU: